Minggu, 17 Juli 2016

Mengenai arti simbol yang menjadi lencana kitab pustaka ini.

Awalnya tak pernah terpikirkan oleh saya membuat sebuah simbol lencana untuk kitab pustaka ini. Awalnya juga kitab pustaka ini sebelum disempurnakan menjadi seperti saat ini hanya memiliki sebuah logo dengan desain art yang berbau hiburan dan komersial. Namun semua itu pun berubah dan saya sepakat untuk menggunakan simbol berdesain religi sebagai lencana pengenal kitab pustaka ini. Ada tiga buah simbol lencana yang berbeda secara metamorfosis untuk kitab pertama, kedua, dan ketiga. Berbeda secara metamorfosis artinya jika ketiga lencana ini secara kolektif melambangkan serial dari trilogi kitab pustaka ini secara bertahap. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai simbol lencana untuk buku pertama kitab pustaka ini : (lihat gambar di atas)
Ada tiga lapis bangun segi dua puluh simetris dan konsentris seperti yang ditemukan pada bentuk  denah Candi Borobudur. Yah, desain simbol ini memang terinspirasi dari bentuk denah Candi Borobudur. Dari tiga lapis bangun segi dua puluh itu, lapisan terluar dinyatakan permanen dan akan kembali digunakan untuk desain simbol buku kedua dan ketiga. Lapisan terluar bangun segi dua puluh itu secara simbolik melambangkan kerajaan Aryanaga beserta isinya seperti yang diceritakan dalam buku. Oleh sebab itulah lapis terluar itu tidak akan berubah untuk desain simbol kedua dan ketiga.
Tiga lapis bangun segi dua puluh itu secara kolektif melambangkan sujud kepada tiga permata, yaitu: Buddha; Dharma; dan Sangha, sesuai hukum Buddhis yang ortodoks. Bangun segi delapan yang mengelilingi sebuah aksara kuno yaitu aksara Sanskerta Nagari bercorak Jawa kuno, melambangkan jika ajaran Buddha suci sudah berhasil memasuki kerajaan Aryanaga dan mulai berasimilasi seperti yang dibabarkan dalam cerita. Aksara kuno yang di tengah adalah aksara Sanskerta Nagari berbunyi “A” yang secara simbolik berarti awal. Ini bisa juga disamakan dengan konsep alfa dan omega dalam kontekstual orang barat. Aksara itu secara simbolik mewakili identitas dari kitab pustaka ini sebagai buku pertama dari serial triloginya.
Penggunaan simbol lencana ini menegaskan jika kitab pustaka ini terpisahkan dari bacaan biasa yang berbau hiburan semata. Saya sudah sepakat jika tidak perlu lagi mempermak aneka hiasan memikat sebagai tampilan luar untuk kitab pustaka ini, sebagaimana semua hiasan – hiasan itu sudah mempermak isi dalam kitab pustaka ini secara sempurna dan menyeluruh. Sebagaimana juga hiasan untuk mempermak tampilan luar hanya sekadar buat mengelabui mata yang fana dan duniawi saja. Bagi saya, kitab pustaka ini sangat bernilai dan sudah setara dengan literatur religi Buddhisme sehingga mempersiapkannya dengan teramat sangat baik adalah kewajiban utama saya selama ini. Itulah akhir dari penjelasan saya tentang simbol lencana kitab pustaka ini.

Visi misi ditulisnya kitab pustaka Maharendra Aryanaga Rajanaga dan serial triloginya

Ini adalah sebuah hal yang teramat sangat rumit untuk dijelaskan. Yang bisa saya jelaskan hanya sekadar gambaran kasarnya saja. Kalau seandainya ayah saya baik – baik saja dan saya tidak pernah menulis kitab pustaka ini berikut serial triloginya nanti, saya mungkin akan berakhir sebagai orang biasa saja. Saya mungkin akan kuliah desain di luar negeri seperti Singapura usai tamat SMA dan berakhir dalam kenyamanan hidup seperti yang saat ini saya mau. Saya juga tak perlu lagi memiliki ketertarikan terhadap dunia Buddhisme dan menjadi seorang umat Buddha yang intelektual pada akhirnya. Tapi takdir hidup selalu punya rencana yang tak bisa saya tebak.
Saya percaya jika saya punya seabreg takdir hidup super aneh yang sudah menuntun saya seperti sekarang ini. Saking anehnya sampai saya pun harus rela menanggung deritanya seorang diri dan saya tidak ingin siapapun ikut menanggungnya, khususnya kedua orang tua saya. Saya tahu mungkin saya sudah banyak menyusahkan mereka dan hanya dengan menulis kitab pustaka inilah saya menaruh harapan agar saya bisa merubah takdir dalam hidup ini. Buddha dan Bodhisatwa mungkin juga tahu jika saya memang diharuskan untuk menulis kitab pustaka ini berikut serial triloginya seorang diri.
Saya adalah umat Buddha dan percaya dengan hukum karma perseorangan, jadi saya pun mencoba menebak karma saya di masa lampau. Namun saya masih tidak tahu di kehidupan saya pada masa lampau itu saya berurusan dengan masalah apa hingga harus menjadi seperti saat ini. Saat itulah seorang sahabat Buddhis sekaligus mentor spiritual saya pernah berkata jika saya memang ada berurusan dengan sebuah janji atau bahkan sumpah atas nama Buddha dan Buddhisme sejak masa lampau, sehingga ini pun mungkin bisa menjadi satu alasan kenapa saya dan kitab pustaka ini ada di dunia. Ia meminta agar saya tetap kuat dan tegar sampai waktunya nanti kitab pustaka ini terbeberkan hingga penjuru dunia, dan saya yang memahaminya pun setuju karena memang itulah yang firasat saya rasakan.
Melalui kitab pustaka ini, saya pun mengenal lebih jauh lagi tentang sisi saya yang begitu misterius. Kadang saya merasa jika saya ada di dunia ini karena harapan para Buddha dan Bodhisatwa yang ingin saya membuat sebuah kontribusi religius yang hebat atas nama para Buddha dan Buddhisme di dunia ini. Dan itu pun saya rasa sudah benar karena sebanyak apapun pertanyaan yang saya pertanyakan, tetaplah jawabannya mengarah pada hal tersebut. Oleh karena itulah saya pun harus kehilangan kesempatan saya menjalani semua kenyamanan hidup seperti yang saya mau selama ini.
Kuliah desain di Singapura sehabis tamat SMA, menjadi seorang desainer beken yang disukai banyak klien dan orang penting, punya banyak duit jadi bisa tinggal dan hidup di Singapura serta menikmati kenyamanan hidup super enak yang hedonis dan cuek terhadap spiritualitas, menjadi atheis dan agnosis seperti kebanyakan orang jaman sekarang. Semua itu pun akhirnya kandas juga setelah tragedi kecelakaan ayah saya. Saya sempat merasa agak sesal di hati, namun akhirnya itu tidak lagi menjadi sebuah masalah. Mungkin memang benar jika seluruh hidup dan mati saya sudah diserahkan sepenuhnya kepada para Buddha dan Bodhisatwa, dan saya pun bisa menyadarinya setelah menjadi umat Buddha yang sah.
Saya tidak menyalahkan siapapun dan apapun dalam hidup ini. Biarpun saya harus tetap bertahan hidup susah dalam banyak perjuangan, namun saya tetap percaya jika para Buddha dan Bodhisatwa selalu punya banyak sugesti untuk saya mengatasi berbagai masalah. Hanya saja kadang saya perlu mengendalikan api emosi saya yang cenderung meluap. Maklum karena elemen – elemen pokok untuk spirit energi saya adalah elemen api dan logam. Bagi saya, akan lebih sulit menjalani hidup tanpa mengenal Buddha dan Buddhisme jikalau takdir untuk menjadi umat Buddhis dan menulis kitab pustaka ini telah berbicara terhadap nasib saya.
Kitab pustaka ini adalah kontribusi seperti yang mungkin para Buddha dan Bodhisatwa harapkan dari saya, dan saya pun harus mengusahakan seperti bagaimana caranya agar kitab pustaka ini bisa dibeberkan hingga ke penjuru dunia, dan pastinya akan ada banyak umat manusia nantinya yang mau mempercayai Buddha dan Buddhisme melalui kitab pustaka ini. Saya pun pastinya akan melanglang buana ke banyak negara dan tempat tanpa kenal lelah, demi menjadi orang yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kitab pustaka ini. Mungkin inilah visi misi kitab pustaka ini yang bisa saya terangkan semampu saya.

Awal mula ditulisnya kitab pustaka Maharendra Aryanaga Rajanaga

Kitab pustaka ini memiliki histori penulisan yang panjang dan sangat rumit. Awalnya kitab pustaka ini hanya ditulis dalam bentuk cerpen pada pertengahan tahun 2006. Saya masih duduk di bangku SMA satu saat itu dan tentu saja ceritanya masih sangat lugu dan tidak sempurna. Awal saya mulai menulisnya di komputer adalah saat akhir 2006 dan itu bertepatan dengan terjadinya sebuah tragedi hebat yang menimpa ayah saya. Saya dan keluarga saya pun harus hidup teramat sangat susah dan penuh derita ke depannya setelah itu. Namun niat saya untuk tetap giat menulis naskah awal dari kitab pustaka ini masih tetap kuat dan inisiatif.
Saat itu saya masih belum sepenuhnya seorang umat Buddhis yang intelektual dan masih sebagai seorang remaja bermental labil pasca tragedi. Oleh sebab itulah naskah awal dari kitab pustaka ini masih sangat netral dan belum bermuatan unsur religi apapun, hanya sebatas bacaan novel untuk hiburan semata. Yah, saya menulis naskah awalnya sebagai bentuk pelarian saya dari derita saya baik di rumah maupun di sekolah. Naskah awalnya pun selesai pada sekitar tahun 2008 mungkin, dan saat itu saya sudah duduk di bangku SMA dua. Setelah itu naskah ini pun saya tinggalkan begitu saja tanpa saya perbaiki kembali. Namun sewaktu – waktu saya masih membaca – baca naskah ini di kala saya butuh pelarian atau saat saya ingin membacanya.
Saya pun tamat bangku sekolah SMA pada pertengahan tahun 2010 dan pada masa itu saya malah kasmaran dengan segala hal yang berkaitan dengan budaya Tibet dan negaranya. Saat itulah menjadi awal bagi saya semakin mendekatkan jiwa saya kepada dunia Buddhisme. Saya mulai memiliki ketertarikan untuk membaca – baca literatur religi Buddhis dan berhasil mempelajari sejumlah mantera – mantera doa suci untuk bekal saya bersembahyang di kemudian hari sebagai umat Buddhis yang sudah disahkan. 
Naskah awal yang saya tulis dalam bentuk file komputer saat itu memiliki panjang cerita sekitar 200 halaman lebih dan itu benar – benar masih sangat mentah. Tidak ada pembagian bab – bab cerita dan strukturnya masih berantakan untuk bisa disebut sebagai naskah cerita. Demikian juga dengan isi ceritanya yang masih cukup berantakan tata dan gaya bahasanya. Namun semua itu pun berakhir juga saat memasuki awal 2011. Saat itulah saya pun membangkitkan inisiatif untuk merombak ulang struktur naskah ini menjadi lebih sempurna.
Tahun 2011 itulah menjadi tahun yang penuh dengan kepahitan perjuangan bagi saya menyempurnakan naskah ini. Saat itulah baru terbentuk sebuah versi prototipe awal dari kitab pustaka ini, yaitu telah dibuat pemisahan bab – bab cerita dan mungkin hanya sekitar 18 atau lebih jumlah bab yang terbentuk saat itu. Unsur religi Buddhisme pun mulai berasimilasi ke dalam karya tulis ini dan butuh waktu yang cukup lama untuk menyempurnakannya hingga usai. Naskah prototipe kitab pustaka ini pun usai di awal tahun 2012.
Proses perombakan ulang kembali dimulai pada penghujung tahun 2012 dan saat itu naskah awal kitab pustaka ini pun terus mengalami penyempurnaan setahap demi setahap. Puncak dari penyempurnaan besar - besaran naskah ini menjadi kitab pustaka adalah pada sekitar Agustus 2014 lalu. Saat itu saya sudah disahkan sebagai umat Buddhis dan kitab pustaka ini pun masih tetap menjalani tahap penyempurnaan kecil – kecilan hingga saat ini. Proses penambahan bab hingga genap 28 bab selesai pada tahun 2016 sekarang ini.
Mungkin hanya itulah yang bisa saya jelaskan mengenai latar belakang terciptanya kitab pustaka ini secara singkat, padat, dan menyeluruh.

Rincian singkat mengenai tokoh – tokoh penting di dalam kitab pustaka ini

Berikut ini adalah para tokoh – tokoh penting yang ada di dalam kitab pustaka:
1.      Ananda sebagai tokoh protagonis pokok dari awal hingga akhir cerita.
2.      Egan Liu adalah abang angkat dari Ananda yang telah mengikat sumpah tali persaudaraan sehidup semati dengan Ananda sejak masih anak – anak. Egan Liu adalah seorang Tionghoa.
3.      Ketiga raja agung kerajaan Aryanaga masing – masing bernama: Rajanaga sebagai sosok raja diraja tunggal, dengan Mahanaga dan Candranaga sebagai raja setingkat dibawah dari kedudukan raja diraja. Dua raja lainnya tidak ada di dalam buku pertama ini, namun akan ada di masing – masing buku kedua dan ketiga nanti.
4.      Nadera adalah raja keenam dari kerajaan Aryanaga yang berubah menjadi iblis jahat dan menjajah kerajaan Aryanaga, sebelum akhirnya ia berhasil dilenyapkan.
5.      Putu Arya adalah seorang penempa senjata mahadewa dari jaman Bali kuno sekaligus sebagai reinkarnasi Ananda di masa lampau.
6.      Sri Kumara adalah sesosok naga Tionghoa yang hidup di tanah Bali dan awal kisah dimulai bersama Putu Arya. Sri Kumara pada akhir cerita bergabung bersama kerajaan Aryanaga dan ia akhirnya dinobatkan sebagai jenderal agung kerajaan pasca pertempuran.
7.      Ibunya Ananda bernama Nyai Putri, sementara ayahnya bernama Romo Sutejo. Kakak perempuannya bernama Dinda Putri. Mereka adalah anggota keluarga dalam keluarga tempat Ananda hidup selama ia masih belum ditakdirkan untuk kerajaan Aryanaga.
Mungkin hanya itulah para tokoh – tokoh penting yang bisa saya terangkan secara singkat satu persatu. Tokoh figuran lainnya tidak lagi saya terangkan.

Mengenai angka untuk jumlah semua babnya dan penjelasan singkat spesifikasi tiap bab.

Angka 28 memiliki nilai yang sangat simbolik bagi saya sendiri dan dalam konsep Buddhisme. Sebagai seorang yang sudah mengabdikan diri kepada Buddhisme, saya mengetahui jika ada sebuah kitab Sutra Buddhis Mahayana yang memiliki jumlah bab bernilai 28. Kitab itu adalah kitab Sutra Keajaiban Dharma Bunga Teratai. Kitab suci agung itu telah banyak menginspirasi saya dalam proses penyempurnaan tahap akhir buku ini, dan jumlah bab – bab sebesar 28 bab saya percayai sebagai bentuk penghormatan saya terhadap kitab suci agung itu secara tidak sengaja. Ada seberkas benang halus yang mungkin menghubungkan buku ini dengan kitab suci itu secara esoterik.
Ke 28 bab dalam buku ini saya uraikan secara singkat sebagai berikut:
1.      Bab 1 : Purwaka tentang asal muasal munculnya kerajaan gaib para naga yang disebut kerajaan Aryanaga. Dalam bab ini juga ada diceritakan kisah tentang sosok seorang dewata yang ikut membangun kerajaan Aryanaga.
2.      Bab 2 : Cerita tentang raja keenam dari enam raja para naga kerajaan Aryanaga yang berubah menjadi iblis dan berhasil menaklukkan kerajaan Aryanaga.
3.      Bab 3 : Cerita tentang tokoh protagonis pokok bernama Ananda berhasil menemukan sebuah relik magis yang memenjarakan roh dari para raja kerajaan Aryanaga dan Ananda berhasil membebaskan roh para raja itu dari dalam relik magis.
4.      Bab 4 : Purwaka tentang raja keenam kerajaan Aryanaga yang bernama Nadera, dari awal hingga penakhtaannya dan pengkhianatannya terhadap kerajaan.
5.      Bab 5 : Purwaka tentang sosok Ananda dan seorang abang angkatnya bernama Egan Liu dari jasmani hingga batin. Cerita pertemuan antara Ananda dengan roh para raja kerajaan Aryanaga dalam mimpi, dan pertemuan antara Ananda dan Egan Liu di bagian akhir.
6.      Bab 6 : Cerita pertemuan antara Ananda dan Egan Liu di sebuah pantai, diikuti dengan peristiwa kebangkitan kembali raja keenam kerajaan Aryanaga dan kembalinya roh raja para naga ke tempat dimana jasad mereka tersimpan secara bersamaan.
7.      Bab 7 : Purwaka tentang tiga dari lima raja agung kerajaan Aryanaga dari lahir hingga berdirinya kerajaan Aryanaga, dengan Nadera ikut serta di dalamnya.
8.      Bab 8 : Purwaka tentang seorang pembuat senjata mahadewa di tanah Bali yang merupakan sosok reinkarnasi Ananda di masa lalu. Berikut cerita terciptanya sebuah pedang mahadewa yang kelak menjadi senjata untuk Ananda dalam pertempuran.
9.      Bab 9 : Kebangkitan kembali ketiga raja agung kerajaan Aryanaga dari kematian.
10.  Bab 10 : Tanda – tanda munculnya sosok Nadera yang menjadi iblis datang menghantui Ananda dan juga langkah awal yang menuntun Ananda untuk menghadapi takdirnya memasuki kerajaan Aryanaga.
11.  Bab 11 dan 12 : Purwaka tentang sesosok naga Tionghoa bernama Sri Kumara dan ceritanya bersama Putu Arya dari awal hingga akhir.
12.  Bab 13 : Cerita keberhasilan Nadera menciptakan sebuah pusaka sakti yang menjadi bala kekuatan mahadayanya untuk perang memperebutkan kerajaan Aryanaga.
13.  Bab 14 : Cerita tentang  perayaan hari raya Tionghoa oleh Ananda dan keluarganya. Bab ini memuat deskripsi tentang seni budaya orang Tionghoa secara melimpah dan intensif. Selain itu pada bab ini juga memuat sejumlah sugesti tentang adat istiadat dan tata cara dalam ritual religius Buddhisme. Rencana liburan ke Bali yang tersebutkan dalam bab ini menjadi awal bagi Ananda semakin mendekati takdirnya bertemu kerajaan Aryanaga.
14.  Bab 15, 16, 17 dan 18 : Takdir awal yang membawa Ananda semakin dekat dengan kerajaan Aryanaga dan perang memperebutkan kerajaan. Berikut cerita tentang aktivitas liburan antara keluarga Ananda dan Egan Liu selama di Bali.
15.  Bab 19 : Cerita tentang pengambilan senjata mahadewa untuk perang nanti dan peristiwa Egan Liu diculik oleh Nadera sebagai taruhan di perang nanti. Perang yang dimaksud akan diselenggarakan di sebuah kerajaan gaib kekuasaan Nadera yang bernama Nagapati Pitaloka Bhumi.
16.  Bab 20, 21, 22, 23, dan 24 : Cerita panjang dari persiapan menuju medan perang hingga perang di dalam Nagapati Pitaloka Bhumi. Perang dimenangkan oleh pihak Ananda beserta seluruh kerajaan Aryanaga, sementara Nadera dengan iblis di pihaknya berhasil dilenyapkan.
17.  Bab 25 : Cerita kenaikan tahta Ananda sebagai raja keenam kerajaan Aryanaga dan menggantikan Nadera untuk selamanya. Pada bab ini memuat banyak kutipan – kutipan berbau instruksi dan sugesti religi yang disadur dari kitab Sutra Buddhis dan literatur Buddhisme. Pada bab ini juga saya menjadikannya sebagai penghormatan eksklusif untuk kitab Sutra Keajaiban Dharma Bunga Teratai, khususnya untuk bab ke 25 kitab sutra.
18.  Bab 26 : Pesta kemenangan menyambut kemerdekaan kembali kerajaan Aryanaga.
19.  Bab 27 : Cerita kembalinya Ananda bersama Egan Liu kepada keluarganya. Ananda diberi kesempatan untuk berpamitan dengan keluarganya selama beberapa hari, dan pada bab inilah memuat tulisan terbaik saya dalam hal kasih sayang abadi antara ibu dan anak.
20.  Bab 28 : Cerita penyelenggaraan upacara mengantar kepergian Ananda untuk selamanya dari keluarganya. Pada bab ini seni kebudayaan berbau corak klasik khas kerajaan Hindu Buddha dari jaman Jawa kuno dibeberkan secara intensif dalam deskripsi. Selain itu juga memuat sugesti religi tentang sebuah Sutra Buddhis yang sangat terkenal di seluruh dunia dalam prosesi ritual.
21.  Kata – kata sambutan oleh saya sebagai penulis dan halaman tambahan untuk memuat semua kosakata berbahasa Sanskerta dan rupa – rupa yang disebutkan dalam cerita.

Seperti bagaimana isi dari kitab pustaka ini secara statistik?

Kitab pustaka ini masih dalam bentuk manuskrip mentah dan dalam file komputer. Namun secara statistik, kitab pustaka ini memiliki panjang cerita lebih dari 500 halaman dalam format kertas A4 dan tipe font Times New Roman ukuran 12 dan spasi 1,5. Seluruh ceritanya dari awal hingga akhir terbagi dalam bab – bab yang berjumlah genap 28 bab. Bab – bab ini nantinya akan saya terangkan secara singkat, berikut pula hal – hal penting mengenai jumlah babnya yang bernilai 28. Rencananya buku ini seharusnya dicetak tidak menggunakan desain art cover khas novel fiksi untuk hiburan atau komersial. Jika buku ini dicetak, ia akan dicetak hanya sesuai desain buku teks untuk kitab Sutra Buddhis yang non komersial dan non hiburan.

Isi buku kitab pustaka ini menceritakan tentang apa?

Dikarenakan terinspirasi dari literatur Buddhisme yang religius, maka kisahnya berawal dari sebuah kerajaan gaib para naga surgawi yang berpusat di pulau Bali sejak ratusan tahun lalu. Kenapa di pulau Bali? Karena hanya di pulau itulah sisa – sisa dari peninggalan corak klasik kerajaan Hindu Buddha masih tetap eksis dan aktif hingga saat ini. Selain itu ada sebuah alasan pribadi dari saya untuk memilih pulau Bali sebagai lokasi setting cerita. Karena kecintaan saya yang teramat sangat terhadap pulau Bali dan seni budayanya mungkin bisa menjadi salah satu alasannya.
Alur cerita yang saya pakai dalam buku ini adalah alur maju dan mundur yang kompleks bentuknya. Berbeda dari tulisan novel saya lainnya yang sederhana dan biasa menggunakan alur maju terus pantang mundur. Tokoh utamanya terinspirasi banyak dari figur para Bodhisatwa dalam kitab Sutra Buddhis dan tokoh utama itulah yang dalam buku pertama ini diceritakan menjadi sosok protagonis pokok dalam cerita. Awal mula cerita dimulai dari kerajaan gaib para naga tadi yang telah dijajah dan dikuasai oleh salah satu dari enam raja para naganya yang telah berubah menjadi iblis jahat.
 Untuk bisa memerdekakan kerajaan itu, kelima raja lainnya pun mencari cara untuk memusnahkan raja iblis yang sudah menjajah kerajaan. Sosok protagonis ini pun akhirnya terpilih dan ditakdirkan untuk menjadi pengganti dari raja keenam sekaligus penghancur raja iblis tadi yang juga sekaligus sebagai mantan raja para naga yang keenam. Di akhir cerita tokoh utamanya pun ditahtakan menjadi raja para naga yang keenam oleh seisi kerajaan.
Unsur Buddhisme yang religius dari kitab – kitab Sutra Buddhis menjadi bagian penting dalam membentuk cerita dalam buku ini, sehingga tidak lagi terlalu sulit untuk dipahami secara radikal dan instan jika buku ini adalah bentuk lain dari Mahabharata namun dalam versi Buddhisme yang ortodoks. Mungkin hanya itulah penjelasan yang bisa saya utarakan semampu saya.

Apakah itu kitab pustaka Maharendra Aryanaga Rajanaga?



Kitab pustaka ini sebenarnya adalah buku pertama dari tiga jilid atau trilogi yang dua diantaranya masih dalam proses panjang hingga usai. Kitab pustaka ini adalah sebuah karya tulisan epik yang memadukan antara unsur religi Buddhisme dengan fiksi fantasi dalam paduan yang sempurna hingga menjadikan karya tulis ini tidak lagi sepenuhnya sebagai novel yang bersifat hiburan semata.
 Unsur fiksi fantasi yang digunakan terinspirasi dari pelbagai kisah – kisah legenda yang berasal dari jaman kuno dan bukan fiksi fantasi sembarang dari jaman modern yang tidak memiliki nilai – nilai estetika khusus. Kitab – kitab Sutra Buddhis dan literatur religius Buddhisme dari pelbagai daerah di benua Asia menjadi sumbangan inspirasi terbesar dalam perihal unsur religi untuk karya tulis ini.
Selain itu unsur seni budaya Indonesia yang khas corak klasik jaman kerajaan Hindu Buddha juga turut menjadi elemen estetika yang menyempurnakan detail – detail setting dalam tiap ceritanya. Singkatnya adalah jika kitab pustaka ini bisa diilustrasikan secara radikal dan gamblang sebagai sebuah kitab Mahabharata atau Bharatayudha, namun dalam versi Buddhisme yang khas dan ortodoks, karena hanya unsur Buddhisme khususnya Mahayana yang diperbolehkan di dalamnya.
Unsur budaya Tionghoa juga menjadi elemen akulturasi yang turut menyempurnakan detail – detail setting dalam cerita. Bisa dikatakan juga jika buku pertama, berikut kedua dan ketiganya adalah karya seumur hidup saya tentang pengabdian saya terhadap perkembangan literatur religi Buddhisme di jaman modern ini dan tentunya di negara Indonesia ini.
Setting cerita meskipun mengambil setting di abad 21 ini, namun dengan cara penggunaan gaya bahasa dan pembendaharaan kata - kata yang khusus tetap menjadikan karya tulis ini bercorak sastra yang berbau klasik dan elegan khas jaman kuno yang masih tetap eksis hingga abad 21 ini. Bahasa yang digunakan dalam karya tulis ini tentu saja bahasa Indonesia yang ortodoks sebagai bahasa pokok dalam karya tulis ini. Kendati demikian di ke depannya saya akan membuat konversinya dalam bahasa Inggris ortodoks dan juga bahasa Mandarin melalui bantuan seorang kolega yang saya tunjuk, sebagai dua dari tiga bahasa pokok untuk karya tulis ini.
Penggunaan kata – kata dan istilah khusus berbahasa Sanskerta dan Jawa hingga Mandarin juga ikut disertakan sebagai elemen pelengkap. Penggunaan kata – kata dan istilah berbahasa Indonesia yang tidak ortodoks karena berasal dari ejaan bahasa asing semisal Inggris dan masih tetap terdengar seperti bahasa asing dalam ejaannya, dieliminasi semaksimal mungkin dan saya bisa memastikan jika kumpulan kata – kata semacam ini sudah hampir 98 persen dieliminasi dalam karya tulis ini. Semua itu dilakukan demi menyempurnakan corak khas sastra yang berbau bahasa klasik dan elegan, namun diciptakan di jaman modern ini.